PARASITOLOGI
NEMATODA
USUS, DARAH
DAN
JARINGAN
‘’diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Parasitologi 1”
Disusun Oleh :
Aini Nurbaiti :
P27903115001
Dea Putri F :
P27903115007
Elva Febriani :
P27903115011
Iffah Octa Firdaus :
P27903115018
Tingkat : 2A
DIII
TEKNIK LABORATORIUM MEDIK
POLITEKNIK
KESEHATAN KEMNKES BANTEN
2016
KATA
PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
parasitology tentang nematode usus, jaringan, dan darah.
Makalah
ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang luas bagi para pembaca.
Tangerang, 8 September 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang 1
1.2
Rumusan Masalah 1
1.3
Tujuan Penulisan
2 2
BAB II ISI
2.1 Nemathelmintes
3
2.2 Nematoda 4
2.3 Nematoda Usus 6
2.4
Nematoda Jaringan dan Saran 23
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 48
3.2 Saran 48
Daftar Pustaka 49
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Helminthologi berasal dari kata helminthos
artinya cacing dan logos
artinya ilmu, berarti Helminthologi adalah ilmu yang mempelajari kelompok
hewan yang termasuk cacing (helminthes). Ilmu ini dibidang medik telah banyak
dipelajari, karena wakil-wakil spesiesnya ditemukan menginfeksi manusia
diseluruh dunia. Helmint termasuk salah satu golongan invertebrate yaitu hewan
yang tidak bertulag belakang.
Helminthologi medik yang
dipelajari, dikelompokan menjadi dua golongan besar yaitu :
1.
Nemathelminthes
Nemathelminthes mempunyai satu kelas yaitu
Nematoda
2.
Platyhelminthes
Platyhelminthes mempunyai dua kelas :
·
Cestoda *)
·
Trematoda
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan nematoda?
2.
Apa yang dimaksud dengan nematoda usus
dan nematoda jaringan/darah ?
3.
Apa macam-macam nematoda usus dan
nematoda jaringan/darah?
4.
Apa itu daur hidup dan hospes nematoda
usus dan nematoda jaringan/darah?
5.
Apa itu morfologi nematoda usus dan
nematoda jaringan/darah ?
6.
Apa itu patogenesis dan penyakit yang
ditimbulkan dari nematoda usus dan jaringan/darah?
7.
Apa saja pencegahan, pengobatan dan
diagnosis nematoda usus dan nematoda jaringan/darah?
1.3
Tujuan
Penulisan
1.
Agar
mahasiswa dapat mengetahui apa itu
Nematoda
2.
Agar mahasiswa dapat mengetahui
pengertian nematoda tersebut
3.
Agar mahasiswa dapat mengetahui
macam-macam nematoda tersebut
4.
Agar mahasiswa dapat mengetahui daur
hidup dan hospes nematoda tersebut
5.
Agar mahasiswa dapat mengetahui
morfologi nematoda tersebut
6.
Agar mahasiswa dapat mengetahui
patogenesis dan penyakit yang ditimbulkan dari nematoda tersebut
7.
Agar mahasiswa dapat mengetahui
pencegahan, pengobatan dan diagnosis
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Nemathelminthes
Nemathelminthes adalah dalam bahasa
Yunani, (Nema= benang, Helminthhes=cacing) disebut sebagai cacing gilig karena
tubuhnya berbentuk bulat panjang atau seperti benang. Berbeda dengan
Platyhelminthes yang belum memiliki rongga tubuh, Nemathelminthes sudah
memiliki rongga tubuh meskipun bukan rongga tubuh sejati. Oleh karena itu
memiliki rongga tubuh semu, Nemathelminthes disebut dengan sebagai hewan Pseudoselomata.
Nematoda adalah hewan multiseluler
yang paling banyak jumlahnya di bumi dan terdapat hampir di seluruh habitat dan
beberapa juga terdapat di tempat yang tidak biasa seperti sumber mata air
panas, es, laut dalam, dan lingkungan berasam dan dengan kadar oksigen rendah.
A. Ciri tubuh
Ciri tubuh Nemathelminthes meliputi
ukuran, bentuk, struktur, dan fungs tubuh.
B. Ukuran dan bentuk tubuh
Ukuran tubuh Nemathelminthes umumnya mikroskopis,
meskipun ada yang panjangnya sampai 1 meter. Individu betina berukuran lebih
besar daripada individu jantan. Tubuh berbentuk bulat panjang atau seperti
benang dengan ujung-jung yang meruncing.
C. Struktur dan fungsi tubuh
Permukaan tubuh Nemathelminthes dilapisi kutikula
untuk melindungi diri. Kutikula ini lebih kuat pada cacing parasit yang hidup
di inang daripada yang hidup bebas. Kutikula berfungsi untuk melindungi dari
enzim pencernaan inang, Nemathelminthes memiliki sistem pencernaan yang lengkap
terdiri dari mulut, faring, usus dan anus. Mulut terdapat pada ujung anterior,
sedangkan anus terapat pada ujung posterior. Beberapa Nemathelminthes memiliki
kait pada mulutnya. Nemathelminthes tidak memiliki pembuluh darah. Makanan
diedarkan keseluruh tubuh melalui cairan pada pseudoselom. Nemathelminthes
tidak memiliki sistem resprasi, pernapasan dilakukan secara difusi melalui
permukaan tubuh. Organ reproduksi jantan dan betina terpisah dalam individu
berbeda.
D. Cara hidup dan habitat
Nemathelminthes hidup bebas atau parasit pada
manusia, hewan, dan tumbuhan. Nemahelminthes yang hidup bebas berperan sebagai
pengurai sampah organik, sedangkan yang parasit memperoleh makanan berupa sari
makanan dan darah dari tubuh inangny. Habitat cacing ini berada ditanah becek
dan di dasar peariran tawar atau laut. Nemathelminthes parasit hidup dalam
inangnya.
E. Reproduksi
Nemathelminthes umumnya melakukan reproduksi secara
seksual. Sistem reproduksi bersifat gonokoris, yaitu organ kelamin jantan dan
betina terpisah pada individu yang berbeda. Fertilisasi terjadi secara
internal. Telur hasil fertilisasi dapat membentuk kista dan dapat bertahan
hidup pada lingkungan yang tidak menguntungkan.
2.2
Nematoda
§ Sifat-sifat
umum
a.
Kulit
Tubuh Nematoda
diselubungi lapisan kutikula, yaitu lapisan pada permukaan kulit yang terdiri
dari bagian-bagian sel yang sudah mati. Bila terjadi pertukaran kulit
(eksufikasi) kutkula ini dilepaskan.
b.
Susunan syaraf
Jaringan syaraf terdapat pada ektoderm (kulit bagian
luar) dibawah kutikula.
c.
Saluran usus
Organ usus terdiri dari usus depan, usus tengah, dan
usus belakang. Pada usus depan dan belakang dilapisi kutikula dan dapat
ditanggalkan pada saat pergantian kulit.
d.
Alat reproduksi
Alat reproduksi yang betina selalu berpasangan,
masing-masing terdiri dari ovarium, oviduk dan uterus. Kedua uterus bersatu
membentuk organ vagina. Sedangkan alat reproduksi jantan tidak berpasangan yang
terdiri dari testis dan vas diferen. Alat reproduksi ini biasanya mempunyai
spikula.
e.
Telur
Sel telur yang dibuahi membentuk membran kuning,
yaitu bagian yang akan membentuk kulit pertama, sedangkan kulit kedua berasal
dari dinding uterus. Bentuk telur nematoda uumnya lonjong dan mudah dibedakan
antara satu spesies dengan spesies lainnya.
§ Morfologi
umum
Ciri-cirinya :
Tubuh
tidak bersegmen, silindrik, simetrik bilateral dan umumnya memanjang
Sudah
memiliki sistem pencernaan (sistema degstoria)
Tubuhnya
berongga (soelom)
Pada
umunya alat reproduksi terpisah sehingga dapat dibedakan antara jantan dan
betina
Sudah
memiliki mulut, kerongkongan, usus dan anus. Bagian-bagian penting ini dapat
membantu identifikasi selanjutnya.
Cara
reoproduksi dengan bertelur (ovipar) atau kadang-kadang mengeluarkan larva
(larvipar)
Cacing
jantan lebih kecil dibandingkan dengan betinanya
Cacing
jantan pada bagian ujung posterior melingkar ke arah ventral (perut), sedangkan
yang betina bagian posteriornya lurus.
§ Cara
Penularan
Penularan nematoda dapat terjadi melalui :
Memakan
telur infektif (mengandung embrio)
Larva
cacing menembus kulit
Memakan
larva yang terdapat kista
Melalui
vector hewan Artropoda
§ Klasifikasi
Nematoda berdasarkan tempat hidupnya
Menurut tempat hidupnya Nematoda pada manusia
digolongkan menjadi dua yaitu Nematoda Usus dan Nematoda Jaringan/Darah.Spesies
Nematoda Usus banyak, yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides
stercoralis dan beberapa spesies Trichostrongilus.Di antara nematoda jaringan
yang penting dalam Ilmu Kedokteran adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi,
Brugia timori, Loa Loa dan Onchocerca volvulus.
a.
Nematoda Usus
Ascaris Lumbricoides (cacing
gelang)
Toxocara canis dan
Toxocara cati (cacing gelang anjing)*)
Necator americanus dan
ancylostoma duodenale (cacing tambang)
Ancylostoma braziliense dan
Ancylostoma caninum (cacing tambang)*)
Trichuris trichiura (cacing
cambuk)
Strongyloides stercoralis (cacing
benang)
Enterobius vermicularis / oxyuris
vermicularis (cacing kremi)
b.
Nematoda Jaringan/darah
Wuchereria bancrofti (cacing
filarial)
Brugia malayi dan
brugia timori
Loa-loa
Manzonella ozzardi
Onchocerca volvulus
Catatan
: Kode *) tidak dibahas
2.3 Nematoda
Usus
2.3.1 Ascaris
lumbricoides (cacing gelang)
§ Hospes
dan Nama penyakitnya
Cacing ini hidup pada rongga usus halus manusia dan
penyakit yang disebabkan cacing ini disebut askaris.
§ Morfologi
Ukuran cacing ini paling besar dibandingkan Nematoda
intestinal lainnya. Bentuk tubuh memanjang, ukuran yang betina 20-35 cm
sedangkan yang jantan 15-31 cm. Cacing jantan ujung posterior lancip dan
melengkung ke arah vental, dilengkapi papil kecil dan dua spikulum berukuran 2
mm. cacing betina bagian posteriornya membulat dan lurus. Telur berembrio
menjadi infektif setelah minggu ditanah dan bila tertelan oleh manusia,
didalam usus halus menetas mengeluarkan larva. Larva selanjutnya menembus
dinding usu halus menuju pembuluh darah sampai ke jantung dan paru-paru. Mulai
telur matang (berembrio) tertelan sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan
waktu bulan.
§ Patogenitas
Patogenesis infeksi Ascaris lumbricoides berkaitan dengan responimun host
terhadap larva, /telur atau cacing dewasa didalam jaringan atau organ tertentu.
Larva yang bermigrasi didalam jaringan, dapat menyebabkan trauma mekanik dan
lisis sel oleh enzim yang dihasilkan oleh
larva. Pada suatu keadaan dimana terjadi reinfeksi dan migrasi larva berikutnya,
jumlah larva yang sedikitpun mungkin dapat menimbulkan reaksi jaringan yang hebat. Larva Ascaris
lumbricoides memasuki parenkim paru dan akan terbentuk reaksi
hipersensitivitas dengan meningkatkan produksi mukus dalam bronkus, peradangan
peribronkial dan spasme pada bronkial. Keluhan yang muncul, tergantung tempat
dimana cacing tersebut bermigrasi dan kerusakan yang ditimbulkan cacing. Pada
keadaan tertentu, cacing juga dapat bermigrasi kedalam saluran empedu dan
menyebabkan sumbatan saluran biliaris.
§ Aspek Klinik
Gejala nyata yang ditimbulkan oleh infeksi cacing
ini diataranya pneumonitis, kerusakan epitel bronkus, alergi gatal-gatal,
demam, sindroma Loeffler, kekurangan gizi da obstruksi usus.
§ Diagnosis
Telur cacing ini ditemukan dengan mudah pada sediaan
basah langsung dan sediaan basah dari sedimen tinja yang sudah
dikonsentrasikan. Cacing dewasa dapat ditemukan bila penderita Antelmintik
(cacing keluar bersama dengan tinja penderita).
§ Pengobatan
Dengan memberikan obat seperti pirentelpamoat,
mebendazol, albendazol, dan levamisol.
Syarat untuk pengobatan massal yang bisa diberikan harus memenuhi kriteria,
yaitu mudah diterima masyarakat, efek samping rendah, mudah didapat, harganya
murah dan bersifat Polivalensif (tidak hanya membunuh satu jenis
mikroorganisme).
§ Epidemiologi
Penyakit
infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted
helminthiasis) masih merupakan masalah dunia terutama di negara yang sedang
berkembang. Prevalensi pada anak balita dan murid sekolah dasar tinggi. World
Health Organization memperkirakan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita
infeksi parasit cacing. Di Indonesia infeksi cacing usus masih merupakan
problem kesehatan masyarakat yang penting, dengan prevalensi yang cukup tinggi.
Hasil survei di beberapa tempat menunjukkan prevalensi antara 60%-90% pada anak
usia sekolah dasar.
‘’Di antara infeksi cacing, Askariasis
merupakan infeksi cacing yang paling sering terjadi, dengan perkiraan
prevalensi di dunia berkisar 25% atau 0,8-1,22 milyar orang. Populasi dengan
risiko tinggi adalah di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Rusia’’
Pada
umumnya frekuensi tertinggi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan
orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran
anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak
berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh
larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit
akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides.
Faktor
host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber
infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan
larva cacing, selain itu manusia justru aka menambah tercemarnya lingkungan
sekitarnya.
Prevalensi
Askariasis di daerah pedesaan lebih tinggi, hal ini terjadi karena buruknya
sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja
manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga
terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang
rendah, sehingga memiliki kebiasaan buang air besar (defekasi)
di tanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang
infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus
menerus pada daerah endemik. Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok
pada iklim tropik dengan suhu optimal adalah 23oC sampai 30oC.
Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur
cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama
dengan debu dapat menyebar ke lingkungan.
Gambar 1. Daur Hidup Ascaris Lumbricoides
2.3.2 Trichuris
trichiura (cacing cambuk)
§ Hospes dan Nama Penyakitnya
Hospes definitif cacing ini manusia dan sering
ditemukan bersama-sama dengan Ascaris
Lumbricoides. Cacing dewasa hidup
didalam usus besar, terutama di sekum dan kolon. Kadang-kadang ditemukan di
apendiks dan ileum bagian distal. Penyakit yang disebabkan cacing ini disebut trikuriasis.
§ Morfologi dan Lingkup
Cacing betina panjangnya 35-50 mm, sedangkan yang
jantan 30-45 mm. parasit ini sering disebut cacing cambuk, karena bagian
anterior (kepala) panjang dan sangat halus, pada bagian posterior (ekor) lebih
tebal. Kepala cacing menembus mukosa usus, sehingga penderitanya sering terjadi
pendarahan. Telur berukuran 53x32 , bentuk seperti
tempayan atau tong, kedua ujungnya terdapat tutup (operculum) dan tampak
jernih. Dinding telur 2 lapis, dinding luar berwarna kuning tengguli dan bagian
dalam jernih dalam tonja segar telur berisi sel telur.
Telur yang sudah dibuahi, dialam dalam waktu 306 minggu menjadi
matang. Dalam perkembangannya, telur ini membutuhkan tanah liat yang lembabdan
teduh. Apabila telur matang tertelan manusia, didalam usus halus menetas dan
mengeluarkan larva. Larva selanjutnya masuk dalam sistem pereedaran darah dan larva ini tidak melalui paru. Waktu
yang diperlukan untuk pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa 3 bulan.
§ Patogenitas
Cacing
Trichuris pada umumnya hidup di caecum, hanya pada infeksi berat dapat sampai
ke bagian usus yang lain seperti appendix, ileum terminale,bahkan kadang-kadang
sampai ke rectum.
Cacing
menanamkan diri pada mukosa, menghisap darah dan menyebabkan luka-luka
berdarah. Trauma pada epithelium dan submukosa usus dapat
menyebabkan
perdarahan kronis yang akan mengakibatkan anemia.
perdarahan kronis yang akan mengakibatkan anemia.
Luka-luka ini dapat menjadi jalan masuk bagi bakteri dan
amoeba, sehingga gejala-gejala yang terjadi dapat disertai dengan infeksi
bakteri sekunder .
§ Aspek Klinik
Kelainan patologik yang disebabkan cacing ini terutama oleh
cacing dewasa. Disini terjadi kerusakan mekanik dibagian mukosa usus dan
terjadi respon alergik. Infeksi berat terutama terjadi pada anak-anak. Pada
keadaan cacing ini tersebar pada kolon dan rektum. Cacing yang ada di mukosa
dan rektum menyebabkan prolapsus, cacing ini dapat menyebabkan anemia karena
menempel pada dinding mukosa dan rektum.
§ Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, atau
menemukan cacing dewasa pada penderita prolapsus rekti (terutama pada
anak-anak).
§ Pengobatan
Obat yang digunakan adalah mebendazol, pirentalpamoat,
oksantelpamoat, dan levamisol.
§ Epidemiologi
Faktor lingkungan mempunyai pengaruh
yang penting dalam proses transmisi, iklim tropis Indonesia sangat
menguntungkan terhadap perkembangan T. trichiura. Indonesia mempunyai empat
area ekologi utama terhadap transmisi T. trichiura yaitu dataran tinggi,
dataran rendah, kering, dan hujan. Data dari berbagai survei di berbagai tempat
di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi T. trichiura merupakan masalah di
semua daerah di Indonesia dengan
prevalensi 35% sampai 75%. Infeksi T. trichiura didasari dengan sanitasi yang
inadekuat dan populasi yang padat, umumnya ini dijumpai di daerah kumuh dengan
tingkat sosioekonomi yang rendah.
Perbedaan prevalensi T. trichiura di
daerah perkotaan dan pedesaan menggambarkan perbedaan sanitasi atau densitas
populasi, tingkat pendidikan, serta perbedaan sosioekonomi yang juga berperan
penting.
Anak usia sekolah mempunyai
prevalensi yang tinggi terhadap infeksi T. trichiura. Berdasarkan data
epidemiologi, anak dengan tempat tinggal dan sanitasi yang buruk dan higienitas
yang rendah mempunyai risiko terinfeksi yang lebih tinggi. Pendidikan
higienitas yang rendah juga mendukung tingginya infeksi tersebut. Tumpukan
sampah dan penyediaan makanan jajanan di lingkungan sekolah juga menjelaskan
tingginya prevalensi.
§
Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup di usus besar manusia -> telur keluar bersama
tinja penderita -> di tanah telur menjadi infektif -> infeksi terjadi
melalui mulut dengan masuknya telur infektif bersama makanan yang tercemar atau
tangan yang kotor. Masa
pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina
melatakkan telur kira-kira 30-90 hari. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari
hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang, yaitu telur yang berisi
larva dan merupakan bentuk infektif, dalam waktu 3 samapai 6 minggu dalam
lingkungan yang lembab dan tempat yang teduh. Cara infektif secara langsung
bila kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur
dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah dewasa cacing turun ke usus bagian
distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Jadi cacing ini tidak
mempunyai siklus paru.
Gambar 2. Daur hidup Trichuris trichiura
2.3.3 Enterobius vermiularis / Oxyuris
vermicularis (cacing kremi)
§ Hospes dan nama penyakit
Satu-satunya aspek definitif cacing ini adalah manusia. Cacing
dewasa hidup disekum dan sekitar apendiks. Penyakit yang disebabkan cacing ini
disebut enterobiasis atau oksiurasis.
§ Morfologi dan daur hidup
Cacing betina berukuran 8-13 mm dan lebar 0,3-0,5 mm. sedangkan
cacing jantan panjangnya 2-5 mm dan
lebar 0,1-0,2 mm. warna cacing putih, pada bagian anterior leher terdapat
kutikula lebar disebut alae. Cacing
betina ekornya lancip seperti keris, sedangkan jantan ekornya melingkar ke
ventral dan dilengkapi spikulum. Esofagus cacing ini khas, mempunyai bulbus
esofagus ganda. Rongga mulut tidak jelas dan mempunyai tiga bibir. Manusia
mendapat infeksi apabila menelan telur matang (infektif). Telur yang ditelan
manusia menetas disekum dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Telur berbetuk
lonjong, asimetrik karena salah satu dindingnya mendatar dan didnding lainnya
cembung.
§ Patogenitas
Kremi-an relatif tidak berbahaya.
Gejala klinis yang paling menonjol adalah rasa gatal (pruritus ani) mulai dari
rasa gatal sampai timbul rasa nyeri di sekitar anus. Akibat garukan akan
menimbulkan iritasi di sekitar anus, kadang sampai terjadi perdarahan dan disertai infeksi bakteri. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari. Hal ini
akan menyebabkan gangguan tidur pada anak-anak (insomnia) oleh
karena rasa gatal, anak akan kurang tidur dan badannya pun menjadi lemah serta
lebih cengeng atau sensitif. cepat marah, dan gigi menggeretak. Kondisi yang
tidak mengenakkan ini membuat nafsu makan anak berkurang. Berat badannya serta merta berkurang. Untuk
mengatasi kegelisahannya, biasanya anak akan sering berkemih/kencing (enuresis) dan masturbasi.
Kadang-kadang cacing dewasa muda
dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan
hidung sehingga menyebabkan gangguan di daerah tersebut. Cacing sering ditemukan di apendiks (usus buntu) tetapi jarang menyebabkan appendisitis. Pada beberapa
kasus dilaporkan adanya migrasi cacing betina pada penderita wanita bisa sampai
ke vagina-rahim-akhirnya ke tuba fallopi dan menimbulkan radang saluran telur atau salpingitis.
Adanya cacing dewasa pada mukosa
usus akan menimbulkan iritasi dan trauma sehingga dapat menyebabkan ulkus
kecil. Jumlah cacing yang banyak dalam rectum dapat menyebabkan rectal kolil
(rasa nyeri hebat pada usus besar).
§ Aspek Klinik
Gejala utama enterobiasis terjadi iritasi disekitar perianal.
Terjadi iritasi ini karena cacing betina bermigrasi ke kulit perianal pada saat
meletakan telurnya. Kadang-kadang cacing betina migrasi ke vagina menuju tuba
fallopii, sehingga sering menimbulkan peradangan saluran telur dan pruritis
vagina. Iritasi gatal-gatal biasanya terjadi pada malam hari.
Gejala umum
ialah nafsu makan menurun, aktifitas meningkat, berat badan menurun, cepat
marah dan mudah tersinggung, mimpi buruk, gigi menggretak, insomnia, gelisah
dan kadang-kadang merangsang menderita untuk masturbasi.
§ Diagnosis
Diagnosis ditegakkan
dengan menemukan telur yang diperoleh melalui analswab. Diagnosis dapat dibuat
juga dengan menemukan cacing dewasa dari bahan tinja atau langsung dari permukaan
perianal.
§ Pengobatan
Obat yang paling efektif dapat digunakan ialah mebendazol dan
pirivinium.
§ Epidemiologi
Penyebaran
cacing kremi atau Enterobius vermicularis lebih luas daripada cacing
lain. Penularan dapat terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang
hidup dalam satu lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu). Telur cacing dapat
diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan mungkin ini
menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan
beberapa anggota keluarga yang mengandung Enterobiasis vermicularis
dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus (toilet
seats), bak mandi, alas kasur, pakaian, dan tilam (Gandahusada, 1998).
Frekuensi di
Indonesia tinggi, terutama pada anak-anak lebih banyak ditemukan pada golongan
ekonomi lemah. Frekuensi pada orang kulit putih lebih tinggi daripada orang
negro (Sudoyo, 2007).
Prevalensi
cacing di Indonesia, menurut Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasit
Indonesa (P4I), tahun 1992 untuk cacing gelang 70 – 90%, cacing cambuk 80 – 95%
dan cacing tambang 30 – 59%. Sedangkan dari data departemen kesehatan (1997)
menyebutkan, prevalensi anak usia SD 60 – 80% dan dewasa 40 – 60% (Kompas,
2002). Cacing ini sebagian besar
menginfeksi anak-anak, meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing
tersebut. Meskipun penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah,
pasien rumah sakit jiwa, anak panti asuhan, tak jarang mereka dari golongan
ekonomi yang lebih mapan juga terinfeksi (Brown, 1979).
Infeksi
cacing terdapat luas di seluruh Indonesia yang beriklim tropis, terutama di
pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya. Semua umur dapat
terinfeksi cacing ini dan prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak.
Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi, kebersihan
diri dan lingkungan. Prevalensi menurut jenis kelamin sangat erat hubungannya
dengan pekerjaan dan kebiasaan penderita. Distrik Mae Suk, Provinsi Chiangmai
Thailand ditemukan anak laki-laki lebih banyak yaitu sebesar 48,8% dibandingkan
dengan anak perempuan yang hanya 36,9% pada umur 4,58 ± 2,62 tahun (Chaisalee
et al., 2004). Sedangkan di Yogyakarta infeksi cacing lebih banyak ditemui pada
penderita laki-laki dibandingkan penderita perempuan.
Tingkat
infeksi kecacingan juga dipengaruhi oleh jenis aktivitas atau pekerjaan.
Semakin besar aktivitas yang berhubungan atau kontak langsung dengan lingkungan
terbuka maka semakin besar kemungkinan untuk terinfeksi. Selain itu, prevalensi
kecacingan yang berhubungan dengan status ekonomi dan kebersihan lingkungan
diteliti di Cirebon, Jabar. Ternyata prevalensi kecacingan semakin tinggi pada
kelompok sosial ekonomi kurang dan kebersihan lingkungan buruk, dibandingkan
kelompok sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan yang sedang dan baik (Tjitra,
1991).
§ Siklus Hidup
Mulai dari tertelan telur matang
sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal,
berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya hanya
berlangsung kira-kira 1 bulan karena telur-telur cacing dapat ditemukan kembali
pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan. (Srisari G, 2006).
Gambar 3. Daur hidup Enterobius
v/Oxyuris
2.3.4 Necator
americanus & Ancylostoma duodenale (cacing tambang)
§ Hospes dan nama penyakitnya
Hospes berupa
spesies ini adalah manusia. Tempat hdup dalam usus halus, terutama jejenum dan
duodenum. Penyakit yang disebabkan acing ini disebut necatoriasis dan
ancylostomiasis.
§ Morfologi
Cacing dewasa
berbentuk silindrik. Cacing dewasa betina panjangnya 9-13mm, sedangkan yang
jantan 5-10mm. Necator americanus berbetuk huruf ‘’S’’ dan ancylostoma
duodenale berbetuk huruf ‘’C’’. Necator americanus dilengkapi gigi kitin,
sedangkan pada ancylostoma duodenale giginya 2 pasang dan berbentuk lancip.
Cacing jantannya ekornya terdapat bursa kopulatrik dan yang betina lurus dan
lancip. Ukuran telur 60x40 mikron, dinding tipis dan jernih, berisi 4-8 sel.
Daur hidup cacing ini mulai dari filariform menembus kulit manusia kemudian
masuk kapiler darah berturut-turut masuk ke jantung kanan, paru-paru, bronkus,
trakea, laring, dan menuju usu halus dan sampai menjadi dewasa.
§ Patogenitas
Cacing tambang memiliki alat pengait
seperti gunting yang membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan submukosa
jaringan intestinal. Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus cacing
menyebabkan tekanan negatif yang menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam
kapsul bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol yang
menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing tambang akan
memperberat kerusakan pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan sekresi
berbagai antikoagulan termasuk diantaranya inhibitor faktor VIIa (tissue
inhibitory factor). Cacing ini kemudian mencerna sebagian darah yang dihisapnya
dengan bantuan enzim hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi dari darah tersebut
akan keluar melalui saluran cerna.28) Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa
pada usus sampai dengan timbulnya gejala klinis seperti nyeri perut, berkisar
antara 1-3 bulan. Untuk meyebabkan anemia diperlukan kurang lebih 500 cacing
dewasa. Pada infeksi yang berat dapat terjadi kehilangan darah sampai 200
ml/hari, meskipun pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal kronik yang
terjadi perlahan-lahan. 22) Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi
cacing tambang tergantung pada status besi tubuh dan gizi pejamu, beratnya
infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita), serta spesies cacing tambang
dalam usus. Infeksi A. duodenale menyebabkan perdarahan yang lebih banyak
dibandingkan N. americanus.28)
Gejala klinis nekatoriasis dan
ankilostomosis ditimbulkan oleh adanya larva maupun cacing dewasa. Apabila
larva menembus kulit dalam jumlah banyak, akan menimbulkan rasa gatal-gatal dan
kemungkinan terjadi infeksi sekunder. Gejala klinik yang disebabkan oleh cacing
tambang dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, gangguan gizi dan gangguan
darah.
§ Aspek klinik
Gelaja klinik
necatoriasis dan ancylostomiasis terutama ditimbulkan oleh larva dan cacing
dewasa, gejala klinik yang disebabkan cacing dewasa yang berupa nekrosis
jaringan khusus, hal ini disebabkan karena adanya luka oleh gigitan cacing
dewasa. Penderita juga mengalami gangguan gizi, sehingga banyak kehilangan
karbohidrat, lemak, maupun protein. Disamping itu banyak kehilangan unsur besi
(Fe). Akibat kekurangan zar-zat tersebut penderita mengalami maltnutrisi.
Akibat infeksi ini penderita mengalami banyak kehilangan darah, karena langsung
dihisap oleh cacing dewasa. Bekas gigitan cacing dewasa juga ,enimbulkan
pendarahan terus-menerus karena sekresi zat antikoagulan yang dikeluarkan
cacing waktu menggigit. Tiap ekor Necator americanus dapat menghilangkan darah
0,05-0,1 cc/hari, sedangkan pada ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc/hari.
Akibat kekurangan darah ini, menderita terjadi anemia hipokrom mikrositer.
§ Diagnosis
Pasti yang disebabkan cacing tambang dibuat dengan menemukan
telur dalam tinja.
§ Pengobatan
Obat pilihan
yang efektif untuk mengobati infesi cacing tambang adalah tetrakloretilen. Obat
lain yang biasa digunakan ialah membendazol, albedanzol, pirantelpamoat,
titoskamat dan bepenium hidrosinapamoat.
§ Epidemiologi
Kejadian
penyakit ini di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal
di pegunungan, terutama di daerah
pedesaan, khususnya di perkebunan atau perkembangan.
§ Siklus Hidup
Telur -> Larva
rabditiform -> Larva filariform -> menembus kulit -> kapiler darah
-> jantung kanan -> paru -> bronkus -> trakea -> laring ->
usus halus
Gambar 4. Daur hidup N. americanus dan A. duodenale
2.3.5 Sterongyloides
stercoralis
(cacing benang)
§ Hospes dan nama penyakit
Strongyloides
stercoralis, juga dikenal sebagai cacing, adalah nama ilmiah dari manusia parasit cacing gelang menyebabkan penyakit Strongyloidiasis. Strongyloides
stercoralis adalah nematoda yang dapat parasitize manusia. Kehidupan tahap
dewasa parasit dalam terowongan dalam mukosa dari usus kecil. Para
Strongyloides genus berisi 53 spesies dan S. stercoralis adalah spesies jenis . S. stercoralis telah dilaporkan pada mamalia lain, termasuk
kucing dan anjing.
§
Morfologi
Pada laki-laki
tumbuh hanya sekitar 0,9 mm, betina bisa dimana saja 2,0-2,5 mm. Kedua jenis
kelamin juga memiliki kapsul bukal kecil dan kerongkongan silinder tanpa bola
posterior. Pada tahap yang hidup bebas, yang esofagusnya dari kedua jenis
kelamin adalah rhabditiform. Pria dapat dibedakan dari rekan-rekan perempuan
mereka dengan dua struktur yaitu spikula dan Gubernakulum.
§
Patogenitas
Transmisidengan penetrasi larva filariform infektif melalui
kulit dari tanah yang terkontaminasi, atau per oral. Transmisi juga kemungkinan
dapat terjadi transplacental (dari ibu ke janin yang dikandungnya) dan
transmammary (dari ibu ke bayinya melalui air susu) oleh karena pernah
ditemukan kasusnya pada hewan mamalia lain. Penetrasi larva filariform infektif
menembus kulit menimbulkan Cutaneus Larva Migransdan Visceral Larva Migrans.
Larva ini kemudian menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa sampai ke
jantung kanan dan kapiler pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler pulmonal dan
penetrasi ke dalam alveoli paru. Diduga saat keluar dari kapiler pulmonal
parasit ini menyebabkan perdarahan dan menimbulkan infiltrasi seluler pada
paru. Kadang dapat terlihat gambaran bercak infiltrat yang menyebar pada
gambaran radiologis paru (Loeffler’s pneumonia). Kumpulan gejala klinis yang
ditimbulkan oleh parasit muda ini saat sedang berada di paru dan saluran
pernafasan disebut dengan Sindroma Loeffler.
Parasit ini kemudian bermigrasi ke
saluran nafas atas, sampai ke esofagus dan tertelan masuk ke lambung dan usus.
Di sana parasit ini dengan cepat berkembang menjadi dewasa. Betina lalu
berkembang biak secara parthenogenesis (Kraust, 1932 dan Faust berpendapat
bahwa ada bentuk parasitik jantan, dan bahwa betina juga berkembang biak
melalui kopulasi yang terjadi di duodenum atau yeyunum. Walaupun para ahli selain
mereka belum ada yang dapat menemukan bentuk parasitik jantan). Betina kemudian
membuat lubang di mukosa saluran cerna untuk menaruh telur – telurnya . Pada
infeksi berat gambaran mukosa dapat terlihat seperti gambaran sarang tawon
(“honeycombed appearance”). Telur yang menetas mengeluarkan larva rhabditiform
yang lalu akan keluar melalui feses. Saat parasit ini berada di saluran cerna,
timbullah gejala – gejala saluran cerna seperti nyeri abdomen, kram,
malabsorbsi dan sebagainya.
Pre – paten period (= masa inkubasi
ekstrinsik) ± 1 bulan. Keadaan terjadinya autoinfeksi internal maupun eksternal
akanmengarah ke hiperinfeksi. Hal ini akan menyebabkan parasit ini dapat
bertahan lama bahkan sampai bertahun – tahun pada tubuh seseorang sehingga
dapat bertahan hidup di belahan dunia mana pun dan dalam iklim apapun. Hal ini
pula yang diduga sebagai penyebab sering rekurennya gejala klinis yang
merupakan ciri dari penyakit ini.
Pada akhir masa inkubasi dan pada
tahap awal infeksi aktif terjadi leukositosis (s/d 25.000) dengan eosinofilia (
> 40 %). Kemudian, saat infeksi menjadi kronis leukositosis berganti menjadi
neutropenia dan monositosis relatif, sementara eosinofilia moderat tetap
bertahan selama bertahun – tahun. Pada keadaan kurangnya eosinofil, disertai
dengan leukopenia, pada kasus kronis menunjukkan prognosa yang buruk. Pada
keadaan tertentu larva filariform dapat gagal keluardari kapiler pulmonal paru
menuju alveoli, lalu bermigrasi ke dalam venule pulmonal dan masuk ke sirkulasi
sistemik tubuh. Hal ini dapat mengarah kepada “disseminated infection” yang
dapat menyerang organ – organ lain seperti paru, hati, dan jantung. Namun
keadaan “disseminated (menyebar)” ini sendiri tidak berhubungan dengan beratnya
infeksi. Kasus “disseminated” biasanya terjadi pada penderita dengan
immunosupresi / immunocompromised.
Hiperinfeksi
Strongyloides stercoralis merupakan sindrom autoinfeksi yang meningkat dan
gejala – gejalanya disebabkan oleh peningkatan migrasi larvaStrongyloides
stercoralis. Hiperinfeksi dapat berakibat fatal. Sebagai penanda hiperinfeksi
adalah peningkatan deteksi jumlah larva dalam feses.
§ Aspek Klinik
Infeksi Strongyloides stercoralis umumnya asimtomatis, namun
telah diketahui bahwa kasus carier asimtomatik dapat berlangsung bertahun –
tahun dan kemudian berkembang menjadi penyakit yang serius. Strongyloidiasis
kronis dapat menyebabkan kolitis. Hiperinfeksi yang fatal dapat terjadi pada
penderita dengan immunosupresi / immunocompromised. Infeksi yang simtomatik
biasanya berupa gejala – gejala gastrointestinal, pulmonal dan dermatologis.
Demam biasanya dijumpai pada kasus “disseminated” (menyebar).
· Dermatologis – reaksi alergi dapat
timbul akibat penetrasi larva melalui kulit.
ü Gatal di kulit – rash lesi
papulovesikuler pruritus, biasanya di kaki.
ü Rash urtikaria yang alurnya berkelok
- kelok akibat larva yang berjalan menembus kulit.
ü Granuloma pada kulit (pada kasus
autoinfeksi kronis)
ü Ptechiae / rash purpura (pada kasus
disseminated)
ü Gejala – gejala kulit tidak khas
yang lain
· Gastrointestinal
ü Kembung, rasa penuh di perut
ü Nyeri perut yang menyebar
ü Diare dengan darah (-)
ü Muntah
ü Berat badan menurun
· Pulmonal
ü Wheezing
ü Batuk
ü Hemoptisis (batuk darah, pada kasus
disseminated atau pun hiperinfeksi).
ü Pernafasan dangkal
· Susunan Syaraf Pusat (SSP) -- Gejala
– gejala meningeal dapat dijumpai pada kasus disseminated.
· Sistem reproduksi – pernah
dilaporkan 1 kasus infertilitas oleh karena infeksi strongyloidiasis
disseminated dengan dijumpainya larva pada air mani penderita dan konsepsi berhasil setelah penderita mendapat pengobatan infeksinya.
§
Diagnosis
1. Menemukan larva rhabditiform atau
pun larva filariform pada sediaan feses, cairan duodenum, cairan asites, dan
sputum (pada kasus yang disseminated). Larva rhabditiform biasanya dijumpai
pada sediaan tinja segar. Larva filariform dapat dijumpai pada pembiakan tinja
dan pembiakan sekret duodenum yang diambil dengan duodenal sonde.
2. Serologis dengan Antibody Detection
Assay termasuk EIA, IFA, dan IHA dengan sensitivitas terbesar pada teknik EIA.
§ Pengobatan
Ivermectin merupakan terapi pilihan
utama untuk Strongyloidiasis, oleh karena efektivitasnya yang tinggi (mencapai
hampir 100 % ) serta pemberiannya cukup dosis tunggal baik untuk kasus tanpa
atau pun dengan komplikasi dengan efek samping yang sedikit. Dosis ivermectin
0,2 mg / kg bb / hari, diberikan dalam dosis tunggal. Angka kesembuhan 98, 7 %
(Nontasutet al, 2005). Sebagai terapi alternatif adalah Albendazole dan
Thiabendazole, sedang di Indonesia sediaan yang ada pada umumnya adalah
Albendazole. Dosis Albendazole 25 mg / kg bb/ hari. Pemberiannya biasa berupa
Albendazole 400 mg 2 x per hari (anak < 2 tahun : 200 mg) selama 3 - 5 hari.
Untuk kasus hiperinfeksi, pemberian dapat dilakukan hingga 15 hari. Angka
kesembuhan 78, 8 % (Nontasut et al, 2005).
§ Epidemiologi
Efek samping pengobatan berupa
diare, gatal – gatal dan mengantuk lebih sering dijumpai pada ivermectin
dibandingkan albendazole.
Pencegahan infeksi adalah dengan
memakai alas kaki dan menghindari kontak dengan tanah yang tercemar. Pasien
harus diskrining terlebih dahulu terhadap kemungkinan adanya infeksi
strongyloidiasis sebelum pemakaian obat - obat immunosupresif.
§ Siklus
Hidup
Parasit ini mempunyai 3 macam siklus
:
1.
Siklus langsung
Sesudah 2
– 3 hari di tanah, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform, bila
larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh dan masuk ke dalam
peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru, dari
paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan
laring. Sesudah sampai di laring reflek batuk, sehingga parasit tertelan,
kemudian sampai diusus halus bagian atas dan menjadi dewasa.
2.
Siklus tidak langsung
Larva rabditiform berubah
menjadi cacing jantan dan betina bentuk bebas, sesudah pembuahan, cacing
betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform, larva
rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menhasilkan larva filariform yang
infektif dan masuk kedalam hospes.
3.
Auto infeksi
Larva rabditiform menjadi larva
filariform di usus atau di daerah sekitar anus (perianal) bila larva filariform
menembus mukosa atau kulit perianal, mengalami suatu lingkaran
perkembangan di dalam hospes. Auto infeksi menerangkan adanya Strongyloidiasis
yang persisten, mungkin selama 36 tahun, di dalam penderita yang hidup di derah
non endemik.
Gambar
5. Daur hidup Strongyloides stercoralis
2.4 Nematoda
Jaringan dan Darah
2.4.1 Wucheria bancrofti (cacing filarial
worm)
§ Hospes dan nama penyakit
W. bancrofti merupakan parist manusia yang
menyebabkan filariasis bancoftiatau wukeriasis bancofti,penyakit ini tergolong
filariasis limfatik,bersama dengan penyakit yang disebabakan oleh bulgia
malayi dan burgia timori,W. bancofti tidak terdapat secara
alami pada hewan.
§ Morfologi
Cacing
dewasa: berbentuk memanjang seperti rambut (hair like), warna
transparans, bentuk filariform dengan ujung meruncing sedikit
demi sedikit. Cacing jantan dan betina didapatkan saling melingkar di dalam
habitatnya dan sukar untuk dilepaskan.
Jantan :
Ukuran 25-40 X 0,1 mm, bagian posterior melengkung ke ventral dan mempunyai
spiculae sedangkan Betina : Ukuran 80-100 X 0,25 mm. Life span : kurang lebih
5-10 tahun.
Mikrofilaria
:
Setelah
dilahirkan oleh induknya dalam saluran lymphe, mereka akan menemukan jalannya
menuju saluran lymphe utama dan akhirnya berada dalam aliran darah tepi.
Morfologi mikrofilaria dapat diamati dengan baik dengan mengambil darah
penderita, dan dibuat sediaan tetes tebal yang diwarnai dengan Wright/Giemsa. Pada
sediaan yang baik akan terlihat mikrofilaria sebagai suatu bentukan silinder
memanjang. Ciri-ciri khas dari mikrofilariaWuchereria bancrofti sbb :
· Ukuran kurang lebih 290 X 6 mikron
· Terbungkus oleh suatu selaput hialin
(hyaline sheath), tetapi pada pengecatan dengan Giemsa
· sheath ini jarang nampak dan hanya
nampak pada pengecatan yang pekat.
· Curva tubuhnya halus dan tak
mempunyai lekukan tubuh sekunder (secondary kink negatif)
· Tubuhhya terisi oleh body nuclei
yang tersebar merata, nampak seolah-olah teratur.
· Pada
ujung anterior terdapat bagian yang bebas dari body nuclei, disebut
cephalic space yang
· Ukuran panjangnya kurang lebih sama
dengan lebarnya (Cephalic space ratio 1 : 1).
· Ujung posterior tidak mengandung
body nuclei (Terminal nuclei negatif)
§ Patogenitas
Effect pathogen yang nampak pada Wuchereria dapat disebabkan
oleh bentuk dewasa baik yang hidup maupun yang mati. Bentuk dewasa atau larva
yang sedang tumbuh dapat menyebabkan kelainan berupa reaksi inflamasi dan
system lympatic. Sedangkan bentuk microfilarianya yang hidup didalam darah
belum diketahui apakah menghasilkan product-product yang bersifat pathogen,
kecuali pada accult filariasis.
Hasil metabolisme dari larva Wuchereria yang sedang tumbuh
menjadi dewasa pada individu yang sensitif dapat menyebabkan
reaksi allergi seperti: urticaria, "fugitive swelling".
(pembengkakan, nyeri, pembengkakan pada kulit extremitas) dan pembengkakan
kelenjar lymphe. Gejala ini dapat timbul awal dalam waktu beberapa bulan
(kurang lebih 3 1/2 bulan) setelah penularan. Pemeriksaan darah tepi untuk
mencari mikrofilaria pada stadium ini biasanya negatif (gagal
ditemukan), tetapi pada biopsi kelenjar lymphe setempat mungkin dapat ditemukan
cacingWuchereria bancrofti muda atau dewasa.
§ Aspek Klinik
Karena
filariasis bancrofti dapat berlangsung selama beberapa tahun maka dapat terjadi
gambaran klinis yang berbeda-beda. Reaksi pada manusia terhadap infeksi filaria
berbeda dan beraneka ragam. Akibat infeksi yang disebabkan oleh filaria maka
dapat diklasifikasi sbb :
1.
Bentuk
dengan peradangan
2.
Bentuk
dengan penyumbatan dan
3.
Bentuk
tanpa gejala.
Penjelasan :
1. Bentuk
dengan peradangan (Filariasis dengan peradangan)
Filariasis
dengan peradangan merupakan fenomen alergi karena kepekaan terhadap bahan-bahan
metabolit yang berasal dari larva yang sedang tumbuh dari cacing betina yang
melahirkan mikrofilaria, atau dari cacing dewasa yang hidup dan yang mati.
Dapat juga terjadi infeksi sekunder yang disebabkan oleh streptococcus atau
oleh jamur. Lymphangitis dari anggota tutuh pembengkakan setempat dan kemerahan
lengan dan tungkai merupakan gejala yang khas dari serangan yang berulang-
ulang. Demam menggigil, sakit kepala, muntah dan kelemahan dapat menyertai
serangan tersebut yang dapat berlangsung beberapa hari-minggu yang terutama
terkena ialah saluran limphe tungkai dan alat genital; dapat terjadi
funiculitis, epididymitis, orchitis. Dapat terjadi leucocytosis sampai 10.000
dengan Eosinophyl 6-26%.
2. Bentuk
penyumbatan (Filariasis dengan penyumbatan)
Penyumbatan
dapat terjadi akibat perubahan dinding dan proliferasi endothel saluran lymphe
karena proses peradangan (obliterative endolymphangitis) juga karena fibrosis
kelenjar lymphe dan jaringan ikat sekitarnya akibat keradangan yang
berulang-ulang atau dapat juga akibat efek mekanis misalnya penyumbatan oleh
cacing dewasa pada lumen pembuluh lymphe. Penyumbatan pada filariasis
terjadinya perlahan-lahan biasanya setelah terkena infeksi filaria selama
bertahun-tahun. Akibat penyumbatan limfatik tersebut maka dapat terjadi
pelebaran lumen dan menurunnya elastisitas pembuluh lymphe, disebut lymp varix.
Dapat juga timbul kebocoran dinding pembuluh lymphe yang menyebabkan cairan lymphe
keluar dari lumen; hidrocele, chyluria. Hypretrofi jaringan yang terkena proses
yang menahun menyebabkan penebalan jaringan sehingga bisa terjadi
Elephanthiasis.
3. Bentuk
tanpa gejala (Filariasis tanpa gejala)
Di daerah endemi, anak-anak mungkin
terkena penyakit sejak umur muda, dan pada umur 6 tahun pada mereka telah dapat
ditemukan mikrofilaria di dalam darah tanpa menimbulkan gejala yang menunjukkan
adanya infeksi ini. Pada pemeriksaan tubuh tampak mikrofilaria dalam jumlah
besar dan adanya eosinofil. Pada waktu cacing dewasa mati mikrofilaria
menghilang tanpa penderita menyadari akan adanya infeksi.
§ Diagnosis
Diagnosa
filariasis ditegakkan berdasarkan atas :
ü Anamnese yang berhubungan dengan
nyamuk didaerah endemi
ü Dari gejala klinis seperti tersebut
diatas
ü Pemeriksaan laboratorium dengan
melakukan pemeriksaan darah yang diambil pada waktu malam (terutama untuk yang
bersifat xacternal periodicyty). Diagnosa pasti bila kita menemukan parasitnya.
Perlu kiranya diketahui bahwa darah penderita dengan gejala filariasis tidak
selalu ditemukan mikrofilaria. Selain dengan pemeriksaan tersebut dapat juga
dilakukan dengan : Xeno Diagnosis yaitu Nyamuk yang steril digigitkan pada
orang yang diduga menderita Wuchereriais, kemudian dilakukan pembedahan atau
nyamuk-nyamuk tersebut dilumatkan untuk mencari mikrofilaria atau larva.
ü Metode yang lain adalah :
·
Biopsi
kelenjar: gambaran yang khas dari infeksi Wuchereriasis kelenjar sangat
membantu
·
Serologis
: dapat dilakukan dengan tes
kulit (skin test) maupun Complement Fixation Test, dengan menggunakan antigen
yang berasal dari Dirofilaria immitis. Metode ini sangat membantu diagnosa
terutama pada fase- fase permulaan. Ada keadaan-keadaan tertentu dimana
mikrofilaria tidak ditemukan pada pemeriksaan darah tepi penderita, yaitu: -
Selama permulaan fase allergie
ü Setelah serangan limfangitis, karena
cacing dewasa telah mati.
ü Pada kasus-kasus Elephanthiasis,
karena sumbatan sistim limfatik sehingga
ü mikrofilaria tak dapat mencapai peredaran
darah.
ü Pada Occult Filariasis
§ Pengobatan
Obat-obat
Filarisida yang dapat dipakai antara lain :
1. Diethyl Carbamazin (Hetrazan)
·terutama untuk mikrofilarianya
·dosis dan cara pemberiannya masih
bervarias
·dosis standart yang dipakai adalah 2
mg/ kg berat badan 3 X sehari selama 7-14 har
·untuk mengurangi efek samping (sakit
kepala,pusing, mausea, demam) pemberian obat dimulai
2.
dari
dosis rendah, kemudian ditingkatkan secara bertahap
3.
Preparat
Arsen ; Mel W, Mel B, untuk cacing dewasanya.
4.
Suramin
5.
Corticosteroid
; untuk mengurangi efek allergie
6.
Antibiotika:
dapat dipakai pada limfangitis rekurens yang disebabkan oleh infeksi sekunder.
7.
Operasi
§ Epidemiologi
Filariasis bancofti dapat di jumpai
di perkotaan dari pada di perdesaan di Indonesia penyakit ini lebih sering di
jumpai di perdesaan dan penyebaran bersifat local,kurang lebih 20 juta penduduk
Indonesia bermukim di daerah endemic filariasis bancofti malayi dan timori dan
merka sewaktu-waktu dapat menular, elompok umur dewsa yang sering menderita terutama
meraka yang berpeng hasilan rendah.
Banyak
ditemukan di pedesaan dan perkotaan
Di
Indonesia banyak ditemukan di pedesaan
Vektor
di perkotaan : nyamuk CULEX QUINGUEFASCIATUS
Vektor
di pedesaan : nyamuk ANOPHELES Sp. dan AEDES Sp.
Prevalensi
tinggi pada masyarakat dengan sosio ekonomi rendah
§ Siklus
Hidup
Cacing dewasa
jantan dan betina hidup disaluran dan kelenjar limfe. Mikrofilaria ini hidup di
dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu tertentu
(periodisitas). Pada umumnya, mikrofilaria Wuchereria bancrofti bersifat
periodisitas noktuna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi
pada waktu malam. Pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam
(paru-paru, jantung, ginjal, dan sebagainya). Di daerah Pasifik, microfilaria
Wuchereria bancrofti mempunyai periodisitas subperiodik diurna, artinya
terdapat di dalam darah pada siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak
pada waktu siang.. Di Thailand terdapat microfilaria dengan periodisitas
subperiodik nokturna.
Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi periodisitas mikrofilaria adalah kadar zat asam dan zat
lemas dalam darah, aktivitas hospes ”irama sirkadian”, jenis hospes dan jenis
parasit, tetapi secara pasti mekanisme periosiditas mikrofilaria tersebut belum
diketahui.
Di daerah
perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus. Di
pedesaan, vektornya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. biasanya parasit
ini tidak ditularkan oleh nyamuk Mansonia. Masa pertumbuhan parasit di dalam
nyamuk kurang lebih dua minggu.
Untuk melengkapi
daur hidupnya, Wuchereria bancrofti membutuhkan manusia (hospes definitive) dan
nyamuk (hospes perantara).
Nyamuk
terinfeksi dengan menelan microfilaria yang terisap bersama-sama dengan darah.
Didalam lambung nyamuk, microfilaria melepaskan sarungnya dan berkembang
menjadi larva stadium 1 (L-1), larva stadium 2 (L-2) dan larva stadium 3 (L-3)
dalam otot toraks dan kepala. Larva stadium 1 (L-1) memiliki panjang 135-375
mikron, bentuk seperti sosis, ekor memanjang dan lancip, dan masa
perkembangannya 0,5-5,5 hari (di toraks). Larva stadium 2 (L-2) memiliki
panjang 310-1.370 mikron, bentuk gemuk dan lebih panjang daripada L-1, ekor
pendek membentuk kerucut, dan masa perkembangannya antara 6,5-9,5 hari (di
toraks dan kepala). Larva stadium 3 (L-3) memiliki mobilitas yang cepat sekali,
kadang-kadang ditemukan diprobosis nyamuk sehingga larva ini bersifat infektif
dan ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk.
Apabila L-3 ini
masuk ke dalam jaringan manusia kemudian masuk ke sistem limfatik perifer dan
bermigrasi ke saluran limfe distal dan akhirnya ke kelenjar limfe dan tumbuh
menjadi L-4 dan L-5 (cacing betina dewasa dan jantan dewasa). Cacing betina
yang sudah matang dan gravid mengeluarkan microfilaria dan dapat dideteksi di
daerah perifer dalam waktu 8-12 bulan pascainfeksi.
Gambar 6. Daur hidup Wuchereria
bancrofti
2.4.2
Brugia
malayi (cacing filarial form)
§ Hospes
dan Nama Penyakit
Brugia malayi adalah nematoda jaringan dan darah cacing yang
merupakan salah satu dari tiga hospes cacing ini di manusia dan hewan seperti
kucing, kera, anjing. cacing parasit nematoda jaringan dan darah penyebab
filariasis limfatik pada manusia. Cacing dewasa terdapat pada saluran dan
kelenjar limfe.
Filariasis limfatik, juga dikenal sebagai kaki gajah, adalah
kondisi yang ditandai dengan pembengkakan pada tungkai bawah. Dua penyebab
filariasis limfatik lainnya adalah
Wuchereria bancrofti dan Brugia timori, yang berbeda dari Brugia malayi adalah
morfologis, gejalanya, dan distribusi geografis.
§ Morfologi
·
Halus seperti benang putih susu
·
Cacing dewasa :
ü
Jantan: 55 mm x 0,16 mm
ü
Betina: 22-23 x 0,09 mm
·
Malayi menggunakan nyamuk sebagai vektornya dari genus Mansonia,
Aedes, Anopleles, dan Culex.
·
Mikrofilaria B. malayi mempunyai panjang 200-275 μm dan
bulat mengakhiri anterior dan posterior ujung runcing.mikrofilaria ini adalah
berselubung, yang banyak noda dengan Giemsa. selubung ini sebenarnya kulit
telur, lapisan tipis yang mengelilingi kulit telur sebagai mikrofilaria yang
beredar dalam aliran darah. mikrofilaria yang mempertahankan sarungnya sampai
dicerna dalam midgut nyamuk.
§ Patogenitas
Brugia malayi ditularkan oleh
An.barbirostris. didalam tubuh nyamuk betina, mikrofilaria yang terhisap waktu
menghisap darah akakn melakukan penetrasi pada dinding lambung dan berkembang
dalam otot thorax hungga menjadi larva
§ Aspek
klinik
Gejala filariasis brugia sama
dengan filariasis bancrofti. Pathogenesis berlangsung berbulan-bulan, bahkan
sampai bertahun-tahun setelah terjadi infeksi. Penderita sering tidak
menunjukkan gejala yang nyata meskipun di dalam darahnya ditemukan
mikrofilaria.
Pada stadium akut akan terjadi
demam dan peradangan saluran maupun kelenjar limfe inguinal. Keadaan ini
berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh sendiri walaupun tidak diobati.
Peradangan kelenjar limfe dapat menimbullkan limfangitis retrograde.
Peradangan pada saluran limfe tampak garis merah yang menjalar ke bawah dan
bisa menjalar ke jaringan yang ada di sekitarnya. Pada stadium ini , tungkai
bawah penderita membengkak dan mengalami limfedema. Limfedenitis
lama-kelamaan menjadi bisul dan apabila pecah akan membentuk ulkus. Ulkus pada
pangkal paha apabila sembuh akan meninggalkan bekas berupa jaringan parut. Hal
ini merupakan satu-satunya objektif filariasis limfatik.
Berbeda dengan filariasis
bancrofti, filariasis brugia tidak pernah menyerang sistem limfe alat
genital. Limfedema hilang sedak telah gejala peradangan tidak ada,
tetapi bila terjadi serangan berulang-ulang, lama-kelamaan pembengkakan pada
tungkai tidak hilang walaupun sudah terjadi peradangan. Hal ini dapat
menimbulkan elefantiasis. Organ yang sering terkena adalah kelenjar limfe
tungkai, ketiak, dan lengan. Kelenjar limfe inguinal jarang terkena.
Elefantiasis mengenai tungkai bawah di bawah lutut dan kadang-kadang lengan di
bawah siku. Alat genital dan payudara tidak pernah terkena. Penderita mengalami
hidrokel, tetapi tidak pernah terjadi kiluria.
§ Diagnosis
ü Diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala klinis yang dikonfirmasi dengan menemukan mikrofilaria dalam darah
perifer. Pada stadium awal, belum ditemukan mikrofilaria dalam darah perifer.
Untuk mengetahui potongan cacing dewasa, dapat dilakukan pemeriksaan dari bahan
biopsi kelenjar limfe yang membengkak.
ü Untuk keperluan diagnosis,
sekarang telah dikembangkan tes imunologik, tetapi masih dalam penelitian,
terutama untuk meningkatkan kepekaan cara diagnosis ini.
§ Pengobatan
Obat yang dapat dipilih adalah
dietilkarbamazin sitrat (DEC), namun efek sampingnya lebih berat jika
dibandingkan untuk pengobatan filariasis brugia. Oleh karena itu, untuk
pengobatan filariasis brugia dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi waktu
pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih lama.
§ Epidemiologi
Distribusi geografik yang luas
daripada parasit ini meliputi Srilangka, Indonesia, Filipina, India Selatan,
Asia, Tiongkok, Korea, dan suatu daerah kecil di jepang. Ini merupakan infeksi
filarial yang predominan di India Selatan dan Srilangka. Daerah distribusinya
sepanjang pantai yang datar, sesuai dengan tempat hospes serangga yang utama
yaitu nyamuk Mansonia. Nyamuk ini banyak terdapat di daerah rendah dengan
banyak kolam yang bertanaman Pistia, suatu tumbuhan air, penting untuk
perindukan nyamuk tersebut di atas. Bila vektor penyakit adalah nyamuk
Mansonia, maka penyakit itu terutama terdapat di daerah luar kota, tetapi bila
vektornya adalah nyamuk Anopheles penyakit itu terdapat di daerah kota dan
sekitarnya.
§ Siklus hidup
Brugia malayi yang hidup pada manusia
ditularkan oleh Anopheles barbirosrtis. Brugia Malayi yang hidup
pada manusia dan mamalia lainnya ditularkan oleh Mansonia sp. Brugia
timori, sedangkan yang hanya hidup pada manusia ditularkan oleh Anopheles
barbirostris.
Kedua cacing ini mempunyai siklus
hidup yang kompleks dan ukuran tubuh lebih pendek bila dibandingkan dengan
ukuran tubuh Wuchereri bancrofti. Masa pertumbuhan larva di dalam tubuh
vektor kira-kira 10 hari. Di sini larva mengalami pergantian kulit dan
berkembang menjadi L-1, L-2, dan L-3. Pada manusia, masa pertumbuhan bisa
mencapai 3 bulan. Pada tubuh manusia, perkembangan ke dua cacing ini mempunyai
pola hidup yang sama seperti Wuchereria bancrofti.
Gambar
7. Daur hidup Brugia malayi
2.4.3 Brugia timori
§ Hospes dan Nama Penyakit
Brugia timori hanya terdapat pada
manusia. Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi
bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah
endemi (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih
menderita daripada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang
terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi
(exposure). Juga gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki, karena pekerjaan
fisik yang lebih berat. Penyakit yang disebabkan oleh Brugia timori disebut
filariasis timori.
§ Morfologi
Cacing dewasa jantan dan betina
hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan
berwarna putih susu. Yang betina berukuran 21 – 39 mm x 0,1 mm dan yang jantan
13- 23 mm x 0,08 mm. cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung.
Ukuran mikrofilaria Brugia timori adalah 280 – 310 mikron x 7 mikron.
§ Patogeitas
Cacing dewasa jantan dan betina
hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan
berwarna putih susu. Yang betina berukuran 21 – 39 mm x 0,1 mm dan yang jantan
13- 23 mm x 0,08 mm. cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung.
Ukuran mikrofilaria Brugia timori adalah 280 – 310 mikron x 7 mikron.
§ Aspek
klinik
Stadium akut
ditandai dengan serangan demam dan gejala peradangan saluran dan kelenjar
limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar
limfe inguinal di satu sisi dan peradangan ini sering timbul setelah penderita
bekerja berat di ladang atau di sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung 2-5
hari dan dapat sembuh dengan sendirinya. Kadang perandangan limfe ini dapat
menjalar ke bawah, mengenai saluran limfe dan menimbulkan limfangitis
retrograd, yang bersifat khas pada filariasis. Peradangan pada saluran limfe
ini dapat terlihat sebagai garis merah yang menjalar ke bawah dan peradangan
ini dapat pula menjalar ke jaringan sekitarnya, menimbulkan infiltrasi pada
seluruh paha atas. Pada stadium ini tungkai bawah biasanya ikut membengkak dan
menimbulkan gejala limfedema. Limfadenitis biasanya berkembang menjadi bisul,
pecah menjadi ulkus. Ulkus pada pangkal paha ini bila sembuh meninggalkan bekas
sebagai jaringan parut. Dan
tanda ini merupakan salah satu gejala obyektif filariasis limfatik. Limfadenitis
dengan gejala komplikasinya dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga bulan
lamanya.
Pada filariasis
brugia, sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena, lambat laun
pembengkakan tungkai tidak menghilang pada saat gejala peradangan sudah sembuh,
akhirnya timbullah elefantiasis. Kecuali kelenjar limfe inguinal, kelenjar
limfe lain di bagian medial tungkai, di ketiak dan di bagian medial lengan juga
sering terkena. Pada filariasis brugia, elefantiasis hanaya mengenai tungkai
bawah, di bawah lutut, atau kadang-kadang lengan bawah di bawah siku. Alat
kelamin dan payudara tidak pernah terkena, kecuali di daerah filariasis brugia
yang bersamaan dengan filariasis bankrofti. Kiluria bukan merupakan gejala
klinis filariasis brugia.
§ Diagnosis
Diagnosis
dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibuktikan dengan menemukan mikrofilaria
di dalam darah tepi.
1. Diagnosis
parasitologi : sama dengan pada filariasis bankrofti, kecuali sampel berasal
dari darah saja.
2. Radiodiagnosis umumnya tidak
dilakukan pada filariasis malayi.
3. Diagnosis imunologi belum dapat
dilakukan pada filariasis malayi.
§ Pengobatan
Hingga sekarang
DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipake di beberapa negara Asia
berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kg berat
badan/hari selama 10 hari. Efek
samping DEC pada pengobatan filariasis brugia jauh lebih berat, bila
dibandingkan dengan yang terdapat pada pengobatan filariasis bankrofti. Untuk
pengobatan masal pemberian dosis standard dan dosis tunggal tidak dianjurkan.
Yang dianjurkan adalah pemberian dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu
selama 40 minggu) atau garam DEC 0,2 - 0,4 % selama 9 – 12 bulan. Pengobatan
dengan iver mektin sama dengan pada filariasis bankrofti. Untuk mendapatkan
hasil penyembuhan yang sempurna, pengobatan ini perlu diulang beberapa kali. Stadium
mikrofilaremia, gejala peradangan dan limfedema dapat disembuhkan dengan
pengobatan DEC. Kadang elefantiasis dini dan beberapa kasus elefantiasis lanjut
dapat diobati dengan DEC.
§ Epidemiologi
Distribusi
geografik yang luas daripada parasit ini meliputi Srilangka, Indonesia,
Filipina, India Selatan, Asia, Tiongkok, Korea, dan suatu daerah kecil di
jepang. Ini merupakan infeksi filarial yang predominan di India Selatan dan
Srilangka. Daerah distribusinya sepanjang pantai yang datar, sesuai dengan
tempat hospes serangga yang utama yaitu nyamuk Mansonia. Nyamuk ini banyak
terdapat di daerah rendah dengan banyak kolam yang bertanaman Pistia, suatu
tumbuhan air, penting untuk perindukan nyamuk tersebut di atas. Bila vektor
penyakit adalah nyamuk Mansonia, maka penyakit itu terutama terdapat di daerah
luar kota, tetapi bila vektornya adalah nyamuk Anopheles penyakit itu terdapat
di daerah kota dan sekitarnya.
§ Siklus
hidup
·
Nokturna dan nonperiodik
·
Yang hidup pada manusia ditularkan oleh
nyamuk Anopheles barbirostris
·
Yang hidup pada manusia dan mamalia
ditularkan oleh nyamuk Mansonia Sp.
·
Masa hidup larva dalam tubuh vektor 10
hari
·
Menjadi dewasa dalam tubuh hospes utama
dalam 3 bulan
Gambar
8. Daur hidup Brugia timori
2.4.4 Loa-loa
Loa-loa salah satu jenis cacing kelas nematoda jaringan yang sangat suka menyempil
di lapisan konjugtiva mata (itulah lapisan yang being-bening). Infeksi Loa-loa
dinamakan Loaiasis, pertama kali terjadi pada tahun 1770 pada seorang wanita
negro di Santo Domingo, Hindia Barat. Cacing dewasa Loa loa merupakan nematoda
jaringan yang bersifat parasit, sekitar 90% menyerang manusia dan sisanya
menyerang kuda nil, binatang pemamah biak yang hidup liar, tikus dan kadal.
Walaupun Indonesia bukan daerah endemik (daerah penyebaran) penyakit ini, kita
juga perlu memiliki pengetahuan tentang berbagai macam parasit yang bisa
menyerang manusia sehingga kita dapat menganalisisnya bila penyakit tersebut
suatu saat kita temui.
Adapun vektor dari Loa-loa adalah jenis lalat dari genus Tabanus. Ada dua
jenis vektor yang menonjol dari genus Chrysops yakni C. silicea dan C.
dimidiata. Spesies hanya terdapat di Afrika dan sering dikenal dengan deerflies
atau mangroveflies. Chrysops spp merupakan lalat yang berukuran kecil,
panjangnya 5-20 mm, dengan ukuran kepala besar dan betuk mulut yang condong ke
bawah. Sayapnya polos atau berbintik cokelat. Mereka merupakan penghisap darah
dan biasanya hidup di daerah hutan tropis dan habitat berlumpur seperti,
rawa-rawa, sungai, dan waduk. Gigitan lalat Chrysops sangat menyakitkan, dan
dapat mengakibatkan bekas gigitan yang lebih parah dari gigitan lalat biasa.
§ Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Filum :
Nematoda
Kelas :
Secernentea
Ordo :
Spirurida
Famili :
Filariidae
Genus : Loa
Spesies :
Loa loa
§ Sejarah
Kasus pertama infeksi Loa loa tercatat di Karibia (Santo Domingo)
pada tahun 1770. Seorang ahli bedah Prancis bernama Mongin mencoba tetapi gagal
untuk menghapus cacing yang lewat di mata seorang wanita. Beberapa tahun
kemudian, pada 1778, ahli bedah Guyot Francois dapat melakukan pembedahan pada
cacing di mata seorang budak dari Afrika Barat pada kapal Prancis ke Amerika.
Identifikasi
microfilaria dibuat pada tahun 1890 oleh Stephen dokter mata McKenzie. Sebuah
presentasi klinis umum loiasis, yang diamati pada tahun 1895 di pesisir kota
Nigeria maka terciptalah nama Calabar swelling.
Pengamatan
ini dibuat oleh seorang dokter mata Skotlandia bernama Douglas
Argyll-Robertson, tetapi hubungan antara Loa loa dan Calabar swelling tidak
disadari sampai tahun 1910 (oleh Dr Patrick Manson). Penentuan vektor lalat
Chrysops diketahui pada tahun 1912 oleh British parasitologist Robert Thompson
Leiper.
ü Nama Penyakit : Loa loa filariasis,
loaiasis, Calabar swelling(Fugitiveswelling), Tropical swelling dan
Afrika eyeworm
ü Hospes : Lalat Crysops silaceae dan
C dimidiata
ü
Daya
hidup: 4-17 tahun
ü Distribusi: terbatas pada hutan dan
tepi hutan di daerah katulistiwa afrika yang sering hujan
§ Morfologi
1. Cacing
dewasa hidup dalam jaringan sub kutan,
2. Betina
berukuran 50-70 mm x 0,5 mm
3. Jantan
30-34 mm x 0,35-0,43 mm. Cacing
4. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang beredar dalam darah
pada siang hari (diurna).
5. Pada malam hari mikrofilaria berada dalam pembuluh darah paru-paru.
§ Siklus Hidup
Parasit ini ditularkan oleh lalat Chrysops.
Mikrofilaria yang beredar dalam darah diisap oleh lalat dan setelah kurang
lebih 10 hari di dalam badan serangga, mikrofilaria tumbuh menjadi larva
infektif dan siap ditularkan kepada hospes lainnya. Cacing dewasa tumbuh dalam
badan manusia dan dalam waktu 1 sampai 4 minggu mulai berkopulasi dan
cacing betina dewasa mengeluarkan mikrofilarianya.
§ Patologis
Gejalanya
khas dengan terbentuknya pembengkakan calabar swelling di sekitar sendi, lengan
atas yang dapat menjadi sebesar telur ayam. Pembengkakan sering kali didahului
oleh rasa gatal dan sakit yang terlokalisasi. Gejala ini disebabkan reaksi
alergi terhadap cacing dewasa yang bermigrasi ke jaringan subkutan; timbul
setelah tiga minggu. Pembengkakan akan berakhir dalam beberapa hari atau
seminggu dan berkurang secara perlahan-lahan sebagai manifestasi supersensitif
hospes terhadap parasit.
Migrasinya
ke jaringan subkonjungtiva menyebabkan gejala iritis, mata sembab, saikit,
pelupuk mata menjadi bengkak hingga mengganggu penglihatan, tetapi tidak sampai
menimbulkan kebutaan. Aktifitas cacing tampak/dapat dilihat di jaringan
subkonjungtiva, sedangkan mikrofilarianya tidak menimbulkan dampak yang serius,
hanya ditakutkan timbulnya ensefalitis bila cacing masuk ke otak. Ketika cacing
dewasa berpindah melintasi jaringan subkutan dan juga hidung, akan menyebabkan
rasa sakit, serta mengalamai Eosinofilia.
Eosinofilia
adalah gejala lain yang merupakan karakteristik dari Loa-loa. Eosinofilia bukan
merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan respon terhadap suatu penyakit.
Peningkatan jumlah eosinofil dalam darah biasanya menunjukkan respon yang tepat
terhadap sel-sel abnormal, parasit, atau bahan-bahan penyebab reaksi alergi
(alergen).
Jika suatu
bahan asing masuk ke dalam tubuh, akan terdeteksi oleh limfosit dan neutrofil,
yang akan melepaskan bahan untuk menarik eosinofil ke daerah ini.Eosinofil
kemudian melepaskan bahan racun yang dapat membunuh parasit dan menghancurkan
sel-sel yang abnormal. 50-70% eosinofilia acap kali ditemukan pada orang yang
terinfeksi Loa-loa, terutama bila terjadi pembengkakan.Indikator lain adalah
peningkatan jumlah serum IgE, peningkatan antibodi antifilaria, tetapi orang
yang terinfeksi kadang-kadang asimtomatik. Mikrofilaremia tidak selalu muncul.
§ Komplikasi
Cacing dewasa yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari
tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di sekitar
pembuluh. Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan
proliferatif yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total. Ketika cacing
masih hidup, pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati
akan terjadi reaksi yang memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe.
Kemudian
akan terjadi obstruksi limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah
membentuk kolateral (seperti pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi
drainase limfe di daerah tersebut.
§ Gejala klinis
1. Menimbulkan gangguan di
konjungtiva mata dan pangkal hidung dengan menimbulkan:
iritasi pada mata,
mata sendat, sakit,
pelupuk mata menjadi bengkak.
2. Pembengkakan jaringan yang tidak sakit
3. Ensefalitis
§ Distribusi geografis
Distribusi geografis loaiasis
manusia terbatas pada hutan hujan dan rawa kawasan hutan Afrika Barat, terutama
di Kamerun dan di Sungai Ogowe. Manusia adalah satu-satunya reservoir alami.
Diperkirakan 12-13 juta manusia terinfeksi larva Loa loa.
§ Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan
mikrofilaria di dalam darah yang diambil pada waktu siang hari atau menemukan
cacing dewasa di konjungtiva mata ataupun dalam jaringan subkutan.
§ Pengobatan dan Pencegahan
Penggunaan dietilkarbamasin (DEC)
dosis 2 mg/kgBB/hari, 3 x sehari selama 14 hari
Pembedahan pada mata
Menghindari gigitan Lalat
Pemberian obt-obatan 2 bln sekali
Gambar
9. Daur hidup Loa-loa
2.4.5 Manzonella
ozzardi
§ Epidemologi, Distribusi geografis
dan Kondisi penyakit terkini
Di
India Barat, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan infeksi M.Ozzardi
bersifat indegenus. Vektor utama filariasis ozzardi adalah Culicoides
sp.
Penyakit
yang disebabkan oleh parasit ini disebut Fillariasis ozzardi, Mansonelliasis
ozzardi.
Parasit
ini terdapat di daerah Amerika Tengah dan Selatan dan beberapa pulau di Hindia
Barat.
§ Morfologi
Cacing
betina dewasa berukuran 6,5-8x0,2-0,25 mm,kulitnya mempunyai kutikulum halus
dan pada bagian ekor Tampak lipatan yang mengkilap. Cacing jantan berukuran
38x0,2 mm, bagian anteriormelengkung ke arah ventral dan ujungnya
membesar.
§ Siklus hidup
Cacing
dewasa hidup di dalam rongga tubuh masenterium dan lemak alat-alat dalam.
Mikrofilaria berujung runcing,tanpa sarung dan bersifat nonperiodik. Manusia
meupakan hospes definitive tunggal yang diketahui. Culicoides furens
ialah vektornya yang pasti, tempat larva menjadi infektif pada hari ke-6 dan
pada hari ke-8 pindah ke dalam proboscis.
§ Diagnosis
Diagnosis
pasti diteggakan dengan menemukan microfilaria dalam darah. Mikrofilaria
bersifat nonperiodik dan harus dibedakan dengan microfilaria spesies lainnya.
§ Patologi dan gejala klinik
Cacing
dewasa menyebabkan kerusakan ringan pada jaringan ikat peritoneum.
Kadang-kadang terjadi hidrokel atau kelenjar limfe membesar. Tidak terdapat
gejala tertentu yang dapat dihubungkan dengan cacing itu.
§ Pencegahan, Pengobatan dan
pengendalian
Pencegahan tergantung pada pemberantasan vektor dan
perlindungan orang-orang terhadap gigigtan vektor.
Kasus
tanpa gejala tidak perlu pengobatan. Obat DEC tidak efektif untuk pengobatan
filariasis ozzardi.
Gambar 10. Daur hidup Manzonella
ozzardi
2.4.6 Onchocerca volvulus
§ Epidemologi, Distribusi geografis
dan Kondisi penyakit terkini
Tempat perindukan vector (simulium) terdapat di
daerah pegunungan yang mempunyai air sungai yang deras. Vektor ini pun jarang
berpindah tempat melampaui 2-3 mil dari perairan. Manusia merupakan sumber
infeksi tunggal. Lalat ini suka menggigit manusia di tempat perindukannya. Pada
hari yang cerah lalat betina hanya menggigit pada waktu pagi dan sore hari,
tetapi ditempat yang rindang atau bila langit berawan dia menggigit sepanjang
hari. Infeksi yang menahun sering kali diakhiri dengan kebutaan. Kebutaan
terjadi pada penduduk yang berdekatan dengan sungai, makin jauh dari sungai
kebutaan makin kurang dan oleh karena itu penyakit ini dikenal dengan river
blindness. Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan lalat simulium atau
memakai pakaian tebal yang menutupi seluruh tubuh.
Parasit ini banyakditemukan pada penduduk Afrika,
dari pantai Barat Sierra Leone menyebar ke Republik Kongo, Anggola, Sudan
sampai Afrika Timur. Di Amerika Tengah terbatas di dataran tinggi sepanjang
sungai tempat perindukkan lalat Simulium. Di Ameraka Selatan terdapat di
dataran tinggi Guatemala, dan bagian timur Venezuella.
Kondisi penyakit terkini ialah onkoserkosis, river
blindness, blinding filariasis.
§ Morfologi
Cacing dewasa hidup dalam jaringan ikat; melingkat
satu dengan yang lainnya seperti benang kusut dalam benjolan (tumor).Cacing
betina berukuran 33,5-50 cm x 270-400 mikron dan cacing jantan 19 x 42 mm x 130
x 210 mikron. Bentuknya seperti kawat berwarna putih, opalesen dan transparan.
Cacing betina yang gravid mengeluarkan mikrofilaria di dalam jaringan subkutan,
kemudian microfilaria meninggalkan jaringan subkutan mencari jalan ke kulit.
§ Siklus hidup
Hospes perantara utama ialah lalat hitam genus simulium.
Bila lalat simulium menusuk kulit dan menghisap darah manusia maka
microfilaria akan terhisapoleh lalat, masuk kedalam otot toraks. Setelah 6-8
hari berganti kulit dua kali dan menjadi larva infektif. Larva infektif masuk
ke dalam proboscis lalat dan dikeluarkan bila lalat menghisap darah manusia.
Larva masuk lagi ke dalam jaringan ikat menjadi dewasa dalam tubuh hospes dan
mengeluarkan microfilaria.
§ Diagnosis
Klinis : Adanya nodul subkutan, hanging groin,
kelainan kulit seperti kulit macan tutul ( leopard skin), atrofi kulit,
kelainan pada mata berupa keratitis, limbitis, uveitis dan adanya mikrofilaria
dalam kornea.
Parasitologik : menemukan microfilaria atau cacing
dewasa dalam benjolan subkutan.
Diagnosis dibuat dengan menemukan mikrofilaria pada
biopsi kulit yakni menyayat kulit (skin-snip) dengan pisau tajam atau
pisau tajam kira-kira 2 – 5 mm bujur sangkar. Sayatan kulit dijepit dengan dua
buah kaca obyek kemudian dipulas dengan Giemsa. Untuk menemukan cacing dewasa
dapat dilakukan dengan mengeluarkan benjolan (tumor), microfilaria dapat
ditemukan juga dalam benjolan. Tes serologi sekarang sedang digalakkan untuk
menunjang diagnosis onkoserkosis.
Ultrasonografi nodul : untuk menentukan beratnya infeksi
(worm burden).
Pelacak DNA : menggunakan teknik multiplikasi DNA
(polymerase Chain Reaction/PCR) dengan pelacak ONCHO-150 yang spesies spesifik.
Mazotti test : dengan memberikan 50 mg DEC, kemudian
diobservasi selama 1-24 jam untuk mengetahui adanya reaksi berupa gatal, erupsi
kulit, limfadenopati dan demam.
§ Patologi dan gejala klinik
Ada 2 tipe onkosersiasis :
•
Tipe forest dimana kelainan kulit lebih dominan
•
Tipe savanna dimana kelainan mata yang dominant
Ada dua macam proses patologi yang ditimbulkan oleh
parasit ini, pertama oleh cacing dewasa yang hidup dalam jaringan ikat yang
merangsang pembentukan serat-serat yang mengelilingi cacing dalam jaringan,
kedua oleh microfilaria yang dikeluarkan oleh cacing betina dan ketika mikrofilaria
beredar dalam jaringan menuju kulit. Pada umumnya lesi mengenai kulit dan mata.
Kelainan yang disebabkan oleh cacing dewasa merupakan benjolan-benjolan yang
dikenal sebagai onkoserkoma dalam jaringan subkutan. Ukuran benjolan
bermacam-macam dari yang kecil sampai sebesar lemon. Letak benjolan biasanya
diatas tonjolan-tonjolan tulang seperti pada skapula, iga, tengkorak,
siku-siku, Krista iliaka lutut dan sakrum dan menyebabkan kelainan kosmetik.
Kedua kelainan yang ditimbulkan oleh microfilaria
lebih hebat daripada cacing dewasa karena microfilaria dapat menyerang mata dan
menimbulkan gangguan pada saraf-saraf optic dan retina mata. Ada beberapa
anggapan tentang patologi kelainan mata, yaitu : 1) reaksi mekanik atau reaksi
sekret yang dikeluarkan oleh microfilaria hidup, 2) toksin yang dihasilkan oleh
mikrofilaria mati, 3)toksin dari cacing dewasa dan 4) penderita supersinsitif
terhadap parasit. Pertama-tama gejala yang timbul ialah fotopobia, lakrimasi,
blefarospasmus dan sensasi dari benda asing. Reaksi radang tidak begitu hebat
bila microfilaria masih hidup daripada microfilaria pada keadaan mati. Sering
ditemukan limbitis dengan pigmentasi coklat. Pada kasus menahun dapat terjadi
keratitis berbintik, glaukoma, atrofi yang berakhir pada kebutaan. Pruritic
dermatitis disebabkan karena gerakan microfilaria dan toksin yang dulepaskan
dalam kulit. Timbul rash yang berupa lingkaran-lingkaran papel kecil-kecil.
Kemudian timbul endema kulit, kulit menebal dan terjadi likenifikasi. Kulit
kehilangan elastisitasnya dan menimbulkan keadaan yang disebut hanging
groin.
§ Pencegahan, pengobatan dan
pengendalian
Pencegahan meliputi pengeluaran benjolan, meniadakan
sumber infeksi, pemberantasan fektor dan melindungi orang yang suseptibel.
Kombinasi pembedahan untuk mengeluarkan cacing dewasa dan menghancurkan
microfilaria dengan dietilkarbamazin mengurangi daya infeksi pengandung. Selain
itu dengan pemberantasan vector tergantung pada penghancuran larva didalam air
dengan larvasida. Orang melindungi dirinya dengan pakaian penutup kepala dan
“repellent”.
Invermectin merupakan obat pilihan
dengan dosis 150 ug/kg badan, diberikan satu atau dua kali pertahun pada
pengobatan masal. Untuk pengobatan individu, diberikan pada dosis 100-150 ug/kg
berat badan dan diulangi setiap dua minggu, bulan atau 3 bulan hingga mencapai
dosis total 1,8 mg/kg berat badan.
Suramin merupkan satu-satunya obat yang
membunuh cacing dewasa O.volvulus teapi jarang dipakai karena
penggunaanya yang relative sulit dan toksisitasnya tinggi.
Gambar 11. Daur
hidup Onchocerca volvulus
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nematoda
berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang
bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang
cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda yang ditemukan pada manusia
terdapat dalam organ usus, jaringan dan sistem peredaran darah, keberadaan
cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang berbeda-beda tergantung pada
spesiesnya dan organ yang dihinggapi.
Menurut
tempat hidupnya Nematoda pada manusia digolongkan menjadi dua yaitu Nematoda
Usus dan Nematoda Jaringan/Darah.Spesies Nematoda Usus banyak, yang terpenting
bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale,
Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan beberapa spesies
Trichostrongilus.Di antara nematoda jaringan yang penting dalam Ilmu Kedokteran
adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, Loa Loa dan
Onchocerca volvulus.
B.
Saran
Semoga
makalah ini dapat menjadikan tambahan ilmu bagi pembaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya.Namun, penulis juga membutuhkan kritik yang membangun
untuk menjadikan tambahan ilmu bagi penulisnya.
DAFTAR PUSTAKA
·
Gandahusada, Srisasi,dkk. 2004. Parasitologi
Kedokteran. Jakarta : FKUI. Ed III.
·
Gracia, Lyne S.,Bruckner,David A..
1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta:EGC
·
Suryanto,
dr. Sp.PK. 2006. Sistem Hematologi & Limfatika. Yogyakarta : UMY
·
Harold W. Brown, 1979.Dasar
Parasitologi Klinis Edisi ke 3.jakarta: PT.Gramedia
·
Noble, R Elmer. Noble, A Glenn.1989. Parasitologi
Biologi Parasit HewanEdisi ke 5. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
·
Onggowaluyo, Samidjo Jangkung. Parasitologi
Medik 1. 2002. Jakarta: EGC.